Artikel ini merupakan REWRITE dari buku Best Seller "ZERO to HERO (Mendahsyatkan Pribadi Biasa Menjadi Luar Biasa)"
Penulis - Solikhin Abu Izzudin
╼╾
Potret Keshalihan Pribadi
Rasulullah menggambarkan potret minimal muslim yang shalih adalah yang menahan diri dari kejahatan sebagai shadaqah paling rendah. Tentu keshalihan pribadi ini perlu kita tampilkan potretnya agar jatidiri pahlawan bukan sekedar diteorikan. Menurut Anis Matta, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meraih keshalihan pribadi.
Pertama, jadilah pemberian kebaikan pada orang lain.
Kedua, berorientasi untuk memberi kontribusi.
Ketiga, miliki kelapangan dada yang cukup untuk menampung semua perbedaan dengan orang lain.
Keempat, berikan respek terhadap keunikan-keunikan orang lain.
❖ Jadilah Pemberi Kebaikan
Menjadi shalih berarti memproduksi energi keshalihan tak pernah henti. Untuk bisa memberi kita haru memiliki, bukan sekedar 'makelar' amal, menyuruh orang lain melupakan diri sendiri. Allah berfirman, "Apakah kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan orang lain berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu telah membaca Al Kitab. Apakah kamu tidak berpikir ?" (Qs. Al Baqarah : 44)
Kita bukan lilin yang menerangi sambil membakar diri. Tapi jadilah penerangan nyata, sirajan muniran cahay yang membuka kegelapan diri sekaligus mengantarkan orang lain. Imam Syahid Hasan Al Banna mengajari kita, "Orang yang tidak memiliki sesuatu, maka ia tidak bisa memberikannya kepada orang lain." Semangat memberi akan mendorong kita untuk mencari dan mencari, menggali dan menggali, lalu melejitkan diri. Kita adalah kran kebaikan yang mengalir air kesejukan menyalurkan hidayah, menggugah jiwa. "Barangsiapa yang menunjuki seseorang pada kebaikan, baginya pahala seperti pelaksananya." Semakin besar kran kita kita buka, semakin besar pula air yang keluar, dan semakin besar pula kebutuhan kita untuk mensuplai diri. "Mereka selalu mengajarkan Al Kitab dikarenakan mereka selalu mempelajarinya." (Qs. Ali Imran : 79) Diantaranya dalam bercinta. "Kita berorientasi kepada apa yang bisa kita berikan, bukan berpikir apa yang kita dapatkan ... Itulah cinta misi", kata Anis Matta.
Sebab bila stok kebaikan tidak kita surpluskan akan berakibat "kebakaran". Yaitu seperti lentera yang terus menyala tapi minyak tak ada. Karenanya menjadi shalih minimal zero, yakni menahan kejahatan diri karena itulah shadaqah terendah kita. Termasuk di sini adalah zeronya hati dari dengki, iri, tinggi hati, ujub, riya', maupun bangga diri. Allah menyifati pribadi ini seperti kaum Muhajirin dan Anshor yang saling membebaskan diri dari penyakit dengki.
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo'a: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Qs. Al Hasyr : 10)
❖ Berorientasi untuk Memberi Kontribusi
Menjadi manusia itu pasti, tetapi menjadi shalih adalah pilihan. Memilih untuk memberi. Bukan berpikir untuk meminta. Padahal pada umumnya manusia cenderung mencari untung buat dirinya. Egois. Tapi ketahuilah, justru dengan memberi kita menjadi memiliki.
Miliki harta sejati dengan berinfaq. Miliki cinta dengan memberikan perhatian. Miliki kesempatan dengan beramal. Miliki cita-cita dengan karya. Miliki kesuksesan dengan proses berkesinambungan. Miliki waktu dengan berbakti. Miliki hati dengan berbagi. Miliki kepercayaan dengan keteladanan. Miliki keikhlasan dengan ketulusan. Dan miliki kebahagiaan akhirat dengan amal bermanfaat.
Pahlawan sejati hadir untuk berkarya. Waktu kita sama. Sama sedikitnya. Yang berbeda cara mengelola, memanfaatkan dan mengisinya. Kalau mereka berpikir untuk berkarya, kita baru berpikir untuk memotovasi diri membaca karya mereka sussahnya luar biasa. Masih ingat'kan dengan kisah besi yang jadi toyota, mercedes benz dan cangkul?
Kehidupan para ulama dan salafush shalih penuh dengan kontribusi. Semangat memberi itulah yang mendorong mereka melahirkan karya. Imam Malik memberi kta Kitab Al Muwatha'. Imam Syafi'i mewariskan kitab Al Umm. Imam Bukhari menyumbangkan Kitab Shahihnya. Ibnu Taimiyah menginfaqkan Majmu' Fatawa. Sayyid Quthub mendokumentasikan jihad dan pemikirannya di bawah naungan Al-Qur'an dalam Fi Zhilaal dan Ma'alim fith Thariq. Mereka bukan hanya berkarya dengan kata-kata, tapi sekaligus terdepan dalam berjihad, wara' dalam harta, hati-hati terhadap tipu dunia dan wanita, tak berambisi pada popularitas dan jabatan.
Bentuk kongkrit semangat memberi kontribusi mereka adalah ringan tangan terhadap yang membutuhkan. Peduli dan membuka diri. Abu Utsman, guru Imam Bukhari Rahimahullah berkata, "Tidaklah meminta seseorang bantuan kepadaku melainkan akan kubantu dengan tenagaku, jika dengan itu aku tak sanggup maka kubantu dengan hartaku. Jika itu pun tak dapat kupenuhi maka aku meminta tolong kepada ikhwan yang lain dan jika itu pun tak dapat kupenuhi, maka aku meminta tolong kepada sultan (penguasa)." (Al Maqdisy, Al Adab Asy Syar'iyah, Jilid 11 hlm. 189)
Maka berbekal semangat memberi kontribusi inilah seseorang akan berupaya untuk meningkatkan kapasitas pribadinya menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Ia belajar dan berlatih menguasai banyak keahlian dan keterampilan untuk dapat memberikan peran, sumbangan dan perhatian. Inilah energi keshalihan yang akan menghidupkan jiwa dan menghasilkan karya.
Next Episode → 14.4 - BANGUN KESHALIHAN PRIBADI || LAPANG DADA MENAMPUNG PERBEDAAN
Komentar
Posting Komentar